Agustus 19, 2013

Fatamorgana

Ketika perbedaan menjadi satu
membuat sebuah ilusi baru
kesempurnaanmu

Ketauhilah, dari setiap perbedaan yang menyatu, selalu ada kesemmpurnaan yang bisa kamu rasakan. Meski sebenarnya kesempurnaan itu tidak pernah dimiliki oleh manusia. Begitulah fatamorgana dunia.

Ketika Idul Fitri Tak Lagi Menjadi Waktu Datangnya Kebahagiaan


        Yang aku tahu, hari raya Idul Fitri identik dengan permohonan maaf, kebahagiaan, berkumpulnya seluruh keluarga yang awalnya terpencar dipelosok bangsa maupun dunia. Ya, bahkan hingga kini hal yang menjadi identik hari istimewa itu masih ku percaya, kelak mungkin akan ada lagi bahagia. Dan setelah hari raya Islam itu mulai ku lalui, mulai terlewatkan, dan telah dilalui, aku percaya bahwa segala hal yang identik dengan bahagia kenyataannya tidak selalu identik itu menjadi kebahagiaan sesungguhnya.

Hari raya Idul Fitri 1434 H. Hari raya agamaku, yang ku lalui setelah bulan Ramadhan yang penuh rahmat. Tujuh tahun yang lalu, aku sama dengan mereka, para manusia lainnya. Aku mempersiapkan mudikku bersama kedua orangtua dan kedua adikku ke kota Sukabumi dari Malang. Ya, aku memang berjauhan dengan keluarga besarku. Sebagian ada yang di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta hingga Amerika. Dan pada hari istimewa itu, kami datang berkumpul dirumahku, yang selalu menjadi tempat utama di Sukabumi, kampung halamanku. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara saja. Kasih sayang diantara kami seketika itu juga sirna. Tak lagi ada bayang-bayang, hanya tersisa kenangan. Tak ada lagi harapan, karna semua yang diharapkan mungkin hanya angan-angan. Aku rindu akan kasih sayang dari keluargaku sendiri.

Dan kini, aku mungkin telah lupa bagaimana rasanya bercerita tentang kota tempat tinggal kami masing-masing. Bercerita tentang pengalaman baru, hingga tertawa dan menangis bersama yang kami rasa. Rumah lalu Berlibur bersama ke satu tujuan yang menyenangkan. Memancing ikan di kolam sebelah rumahku, lalu membakar dan memakannya bersama, seperti hanya tinggal rekaman dalam ingatanku. Pertengkaran kecil antar saudara, berlari-lari di taman depan rumah, menikmati ayunan yang dibuatkan oleh ayah, dan semua itu hilang. Semenjak seorang gadis yang menjadi ibu dari para orangtua kami, meninggal dunia.

Hari raya Idul Fitri 1434 H, sama seperti tujuh tahun kebelakang. Jauh dari kegembiraan, kedamaian sanak saudara, canda dan tawa karena yang terasa hanya permusuhan. Hari rayaku lebih pada pertengkaran, kesunyian silatuhrahmi, kebisuan dalam lisan untuk menyampaikan “Mari kita berkumpul kembali”. Ya Allah, bukan hal yang  salah aku atau mereka jika nenek harus meninggal dunia, tapi kenapa semenjak kepergiannya keluargaku terlihat sempurna namun tak utuh kembali seperti sedia kala.  

Di hari pertama berlebaran, aku memohon maaf pada kedua orangtuaku atas segala salah yang aku lakukan. Aku dan keluargaku bahkan tak melangkahkan kaki ke tempat yang terlalu jauh dari rumah. Aku hanya berkunjung ke rumah salah satu saudara yang kebetulan dekat. Kami hanya berbincang sebentar saja. Tak ada melampiaskan kerinduan. Tak ada lontaran dari lisan kami yang menunjukkan kejujuran keinginan untuk berbaikan dari yang bukan kesalahan dan berbaikan dari yang bukan permusuhan. Kami hanya mengucapkan maaf ala kadarnya, berbincang kecil lalu pulang. Waktu yang amat singkat dan tidak jelas, itu mungkin bisa menjadi gambaran kecil Idul Fitriku.

Aku pun melanjutkan perjalanan ke rumah kakek. Beliaulah satu-satunya yang tertua yang aku punya dalam keluarga ini. Namun tetap saja, tak seperti kebiasaanku yang dulu kami mengunjunginya bersama-sama. Tidak, kini aku hanya bertiga, aku dan kedua adikku. Ya, bahkan orangtuaku pun tidak ikut. Mereka sibuk, dan sempat menitipkan pesan “Ibu dan ayah akan datang menyusul”. Sesampainya disana, tak ada keramaian Idul Fitri. Yang aku temui hanya keheningan namun bukan keheningan kesucian. Seolah-olah kata maaf hanya sebagai prioritas saja, dan setelahnya Idul Fitri selesai. Lalu apalagi yang harus aku ceritakan. Kami bertemu. Ya, memang kami bertemu. Hanya untuk mengucapkan kata maaf, lalu pulang.

Tidak ada berfoto, tidak ada dokumentasi dalam bentuk apapun yang ku dapat. Karna terlalu sempit waktu yang kami punya untuk berlebaran hanya karena alasan yang entah apa, dan tak jua ku mengerti. Aku hanya seorang anak yang tidak ikut andil dalam sebuah masalah yang lagi-lagi “entah apa”. Aku hanya seorang anak yang berharap Idul Fitri tujuh tahun yang lalu kembali terulang. Kembali menjadi waktu dimana kami mendapatkan kebahagiaan yang tidak akan ditandingi oleh cinta apapun diluar sana.

Hanya itu saja. Tak ada pembicaraan lain, kami yang utuh seperti telah diretakkan dan terpisah dengan jurang yang amat dalam diantara kami. Hanya maaf, lalu kami pulang tanpa hal istimewa lainnya. Tak ada berkumpul bersama lagi, tak ada kami memasak makanan untuk berlebaran bersama lagi. Tak ada kami melangkahkan kaki serentak ke masjid saat sholat Idul Fitri. Semua hilang termakan waktu dan keegoisan masing-masing.

Namun, aku bahagia. Disela kecewa itu, aku bersyukur aku masih memiliki mereka. satu-satunya hikmah Idul Fitri yang aku dapatkan adalah, bagaimana menjaga rasa kekeluargaan itu amat sangat begitu pentingnya. Sebagaimanapun apa yang mereka lakukan, apa yang kami lakukan, apa yang kita lakukan, mereka, kami dan kita tetaplah satu keluarga yang tidak bisa dikhianati oleh rasa lain diluar sana. I love you my Fam <3 font="">

“Tulisan ini diikutkan dalam Tjerita Hari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.


Agustus 12, 2013

kuen

Aku gagal menjadi wanitamu
maafku untukmu priaku, 
segala sesuatuku memang tak layak menjadi pandanganmu
segala tentangku memang tak harus ada dalam timeline hidupmu, 

im so sorry, i make you go away from me.
i love you, but I don't deserve to be loved by you.

Aku Mencintaimu, Tanpa Berujung Waktu

Membicarakan kamu adalah hal yang tidak akan berujung. Mengingat kamu adalah aktifitasku yang tidak akan mengenal waktu. Mencintai kamu, adalah wujud rasaku yag entah kapan akan pudar.

Hai, kamu. Mendeskripsikan bagaimana kamu adalah hal yang amat menyusahkan. Kamu tahu kenapa?. Karna sebegitu banyaknya hal yang kamu lakukan untukku.Begitu banyak, sangat banyak, hingga memoriku tak mampu mengenang semuanya. Tapi tunggu dulu, bagaimana aku tidak mampu?. Aku sangat mengenangnya dengan jelas. Oh ya, mungkin kalimat yang tepat adalah, aku tak mampu membayangkan balasan apa yang harus aku berikan.  Tidak, ini bukan hanya sekedar yang bernama perasaan. Ini juga bukan hanya sekedar yang bernama cinta. Atau hanya sekedar yang bernama hubungan. Ini lebih dari makna kehidupan, bagiku. Bagi orang yang sempat kamu selamatkan dari kehancuran hidupnya.

Apa kamu masih mengingatnya?. Perkenalan kita diawali oleh lagunya Secondhand Serenade; Fall for you. Waktu kamu bilang “coba dengerin deh ay.” Dan lagu itu memang kita, kita amat tergila-gila pada kita. Pada kita yang entah buta akan apa, hingga kita saling mencintai. Aku masih ingat, bagaimana kamu memperlakukan aku dengan lembut. Ya, sebuah sikap yang merupakan awal kepercayaanku pada seorang pria. Pria itu kamu.

Kita bersama sangat lama. Dan tentu tidak ada kata terlalu lama bagiku. Bosan jauh dari kita, jenuh jauh dari ungkapan kita, dan “ay” telah menjadi nama kita. Meski jauh kita tetap menjaga. Menjaga setiap detik pertemuan yang berharga menjadi moment terpenting, meski dalam waktu yang tak bisa dibilang lama, namun itu menjadi sebuah hadiah bagiku. Sosokmu dan segalanya tentangmu, adalah pandanganku.

Entah apa lagi yang kamu lakukan. Tapi aku begitu percaya kamu. Jalan hubungan kita memang terlalu berliku, tapi aku tetap mencintai kamu. Kepercayaanku tak bisa berpaling. Meski aku ingin tidak percaya, Maafkan aku karna aku tak bisa. Cuma kamu yang mampu buat aku menjadi manusia yang jujur terhadap dirinya sendiri terutama. Cuma kamu yang mampu buat aku menjadi sosok yang berani meraih impianku. Dan lagi-lagi Cuma kamu, yang bisa membuat aku bangkit sejauh ini. Dan apakah kamu tau, bagiku kamu adalah lelakiku.

Kamu pernah bilang “Sepenuhnya hariku masih memikirkan kamu. Kamu bawel, tapi selalu khawatir denganku.” Kalimat itu, buat aku merasa aku dibutuhkan. Lalu, bagaimana kalimatmu yang lain?. Seperti inilah “Aku gak takut sakit. Ada kamu ini yang akan perhatiin aku.”  Ya, kamu selalu bersikap seolah aku sama seperti mereka yang masih sempurna. Dan aku bangga, aku masih sempat jadi seorang wanita yang kamu butuhkan bukan hanya yang kamu inginkan. Lagi-lagi selalu kata “kamu” lelakiku, yang aku katakan. Mau bagaimana lagi kan, memang tidak ada kata dia, dia lagi ataupun dia yang lain. Kamu, adalah jawaban bagi semua pertanyaanku.

Kamu, memang lebih dari indah. Aku mencintaimu, tanpa berujung waktu.