Yang
aku tahu, hari raya Idul Fitri identik dengan permohonan maaf, kebahagiaan,
berkumpulnya seluruh keluarga yang awalnya terpencar dipelosok bangsa maupun
dunia. Ya, bahkan hingga kini hal yang menjadi identik hari istimewa itu masih
ku percaya, kelak mungkin akan ada lagi bahagia. Dan setelah hari raya Islam
itu mulai ku lalui, mulai terlewatkan, dan telah dilalui, aku percaya bahwa
segala hal yang identik dengan bahagia kenyataannya tidak selalu identik itu
menjadi kebahagiaan sesungguhnya.
Hari
raya Idul Fitri 1434 H. Hari raya agamaku, yang ku lalui setelah bulan Ramadhan
yang penuh rahmat. Tujuh tahun yang lalu, aku sama dengan mereka, para manusia
lainnya. Aku mempersiapkan mudikku bersama kedua orangtua dan kedua adikku ke
kota Sukabumi dari Malang. Ya, aku memang berjauhan dengan keluarga besarku.
Sebagian ada yang di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta hingga Amerika. Dan pada
hari istimewa itu, kami datang berkumpul dirumahku, yang selalu menjadi tempat
utama di Sukabumi, kampung halamanku. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara
saja. Kasih sayang diantara kami seketika itu juga sirna. Tak lagi ada
bayang-bayang, hanya tersisa kenangan. Tak ada lagi harapan, karna semua yang
diharapkan mungkin hanya angan-angan. Aku rindu akan kasih sayang dari
keluargaku sendiri.
Dan
kini, aku mungkin telah lupa bagaimana rasanya bercerita tentang kota tempat
tinggal kami masing-masing. Bercerita tentang pengalaman baru, hingga tertawa
dan menangis bersama yang kami rasa. Rumah lalu Berlibur bersama ke satu tujuan
yang menyenangkan. Memancing ikan di kolam sebelah rumahku, lalu membakar dan
memakannya bersama, seperti hanya tinggal rekaman dalam ingatanku. Pertengkaran
kecil antar saudara, berlari-lari di taman depan rumah, menikmati ayunan yang
dibuatkan oleh ayah, dan semua itu hilang. Semenjak seorang gadis yang menjadi
ibu dari para orangtua kami, meninggal dunia.
Hari
raya Idul Fitri 1434 H, sama seperti tujuh tahun kebelakang. Jauh dari kegembiraan, kedamaian sanak
saudara, canda dan tawa karena yang terasa hanya permusuhan. Hari rayaku lebih
pada pertengkaran, kesunyian silatuhrahmi, kebisuan dalam lisan untuk
menyampaikan “Mari kita berkumpul kembali”. Ya Allah, bukan hal yang salah aku atau mereka jika nenek harus
meninggal dunia, tapi kenapa semenjak kepergiannya keluargaku terlihat sempurna
namun tak utuh kembali seperti sedia kala.
Di
hari pertama berlebaran, aku memohon maaf pada kedua orangtuaku atas segala
salah yang aku lakukan. Aku dan keluargaku bahkan tak melangkahkan kaki ke
tempat yang terlalu jauh dari rumah. Aku hanya berkunjung ke rumah salah satu
saudara yang kebetulan dekat. Kami hanya berbincang sebentar saja. Tak ada
melampiaskan kerinduan. Tak ada lontaran dari lisan kami yang menunjukkan kejujuran
keinginan untuk berbaikan dari yang bukan kesalahan dan berbaikan dari yang
bukan permusuhan. Kami hanya mengucapkan maaf ala kadarnya, berbincang kecil
lalu pulang. Waktu yang amat singkat dan tidak jelas, itu mungkin bisa menjadi
gambaran kecil Idul Fitriku.
Aku
pun melanjutkan perjalanan ke rumah kakek. Beliaulah satu-satunya yang tertua
yang aku punya dalam keluarga ini. Namun tetap saja, tak seperti kebiasaanku
yang dulu kami mengunjunginya bersama-sama. Tidak, kini aku hanya bertiga, aku
dan kedua adikku. Ya, bahkan orangtuaku pun tidak ikut. Mereka sibuk, dan
sempat menitipkan pesan “Ibu dan ayah akan datang menyusul”. Sesampainya
disana, tak ada keramaian Idul Fitri. Yang aku temui hanya keheningan namun
bukan keheningan kesucian. Seolah-olah kata maaf hanya sebagai prioritas saja,
dan setelahnya Idul Fitri selesai. Lalu apalagi yang harus aku ceritakan. Kami
bertemu. Ya, memang kami bertemu. Hanya untuk mengucapkan kata maaf, lalu
pulang.
Tidak
ada berfoto, tidak ada dokumentasi dalam bentuk apapun yang ku dapat. Karna
terlalu sempit waktu yang kami punya untuk berlebaran hanya karena alasan yang
entah apa, dan tak jua ku mengerti. Aku hanya seorang anak yang tidak ikut
andil dalam sebuah masalah yang lagi-lagi “entah apa”. Aku hanya seorang anak
yang berharap Idul Fitri tujuh tahun yang lalu kembali terulang. Kembali
menjadi waktu dimana kami mendapatkan kebahagiaan yang tidak akan ditandingi
oleh cinta apapun diluar sana.
Hanya
itu saja. Tak ada pembicaraan lain, kami yang utuh seperti telah diretakkan dan
terpisah dengan jurang yang amat dalam diantara kami. Hanya maaf, lalu kami
pulang tanpa hal istimewa lainnya. Tak ada berkumpul bersama lagi, tak ada kami
memasak makanan untuk berlebaran bersama lagi. Tak ada kami melangkahkan kaki
serentak ke masjid saat sholat Idul Fitri. Semua hilang termakan waktu dan keegoisan
masing-masing.
Namun, aku bahagia. Disela kecewa itu, aku bersyukur aku masih memiliki mereka. satu-satunya hikmah Idul Fitri yang aku dapatkan adalah, bagaimana menjaga rasa kekeluargaan itu amat sangat begitu pentingnya. Sebagaimanapun apa yang mereka lakukan, apa yang kami lakukan, apa yang kita lakukan, mereka, kami dan kita tetaplah satu keluarga yang tidak bisa dikhianati oleh rasa lain diluar sana. I love you my Fam <3 font="">3>
“Tulisan ini diikutkan dalam Tjerita Hari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.”