Aku sangat menyukaimu,
Morita Atsu
“Yamada Ina !!.”
Seruan itu lagi. “Gomenasai, sensei.” aku mengangkat kepalaku. Wajahku tak bermuka, tanpa ekspresi. Rasa terkejut sekaligus takut ku rasakan lagi kali ini. Hanya karna sebuah kalimat yang selalu saja jelas teringat dalam kepalaku. Bukan suaranya yang terngiang, namun bayangan saat aku membacanya yang selalu terekam jelas dalam ingatanku.
“Huhhh. ” keluhku lagi didepan Ujikawa sensei.
“Mana tugasmu. Ini bukan kamar tidur tempat kau harus melamun.!” Bentaknya.
“Gomenasai, ini tugasnya sensei.” Aku menyerahkan sebuah makalah setebal 567 halaman yang berisi mengenai sastra dan kebudayaan Indonesia. Ya, aku memang sangat menggemari sastra Indonesia yang menurutku unik dan sangat bersejarah. Selain itu juga, aku mempelajarinya karena okasan asli Indonesia.
“Kau masih saja melamun. Ini bukan Indonesia.” Bisik Shiba.
“Maksudmu apa?. Jangan kau bawa bawa Negara asal okasanku itu.” Aku berbisik dengan sedikit bentakan karena aku tidak menyukai kalimatnya. Dia seperti menghina okasan saja. Aku paling benci jika ada seseorang yang menghina okasan karena kelahirannya di Indonesia. Memang apa buruknya?. aku yang sudah pernah ke Indonesia tentu tidak akan berfikiran seperti itu. Indonesia itu indah.
“Baiklah, pelajaran hari ini cukup sampai disini. Jika ada pertanyaan, jadikan PR untuk esok hari.” Perkataan Ujikawa sensei membuat aku dan shiba kembali di posisi duduk masing masing dan tidak lagi saling berdebat. Aku sangat tidak menyukai sikap sombongnya. Lelaki yang buruk.
Perasaanku sedikit tenang ketika Ujikawa sensei mulai melangkah keluar dari kelasku. Paling tidak aku bisa memandangi album kenangan yang sedari tadi kugenggam. “Aku merindukannya.” Aku menundukkan kepalaku hingga menyembunyikan wajahku dibaliknya. Terdengar suara teman temanku semakin menjauh dan menghilang. Mungkin mereka sudah meninggalkan ruang kelas.
Sejenak kurasakan hening dan sepi yang sudah hampir 3 tahun kurasakan. Aku merindukannya, aku merindukan Atsu kun. Hanya satu lembar kertas dari ratusan kertas di dalam buku kenangan ini yang membuatku bertahan menunggunya. Menunggu tanpa kepastian apakah dia masih menyukaiku atau tidak.
“Ina, kau tidak pulang?”
“Ah, Mari. Mengagetkanku saja.” Kataku singkat dan segera membereskan alat tulis yang masih tergeletak begitu saja di atas meja tulisku.
“Mengagetkan?. Hahh, kau saja yang melamun dari tadi. Apa kau masih tidak mau bercerita padaku mengenai hal yang kau lamunkan itu?. Lamunanmu berhubungan dengan album kenangan SMP mu kan?.” Mari terus saja mengocehkan pertanyaan yang paling malas ku dengar karena aku tidak mau menjawabnya. Selama ini aku tidak pernah bercerita dengan siapapun.
“Apa harus ku jawab?.” Aku menanyakan hal bodoh. Tentu saja harus ku jawab.
“Tentu saja Ina. Kau ini. Kita sudah berteman dari kecil.” Mari duduk disampingku pertanda dia memaksa mulutku untuk menceritakan semuanya. Tapi aku masih enggan untuk bicara. Aku menatap wajahnya, mencoba menyampaikan maksudku yang tak ingin untuk bercerita saat ini. Tak lama aku memandangnya, dia berdiri. Ku rasa dia menerima pesan yang kusampaikan melalui tatapan mataku tadi.
“Baiklah, ayo pulang. Aku tidak mau ketinggalan kereta. Kereta jam 5 kan, ini sudah jam 4.45.” Mari memulai langkahnya. Aku tersenyum melihatnya karena dia begitu mengerti aku. Tidak salah memang jika dia berstatus teman dari kecilku.
Aku berjalan tepat dibelakangnya. Tentu saja dengan buku kenangan bersampul biru yang ku genggam ditanganku. Buku ini selalu ku genggam, dimanapun, kapanpun. Aku takkan membiarkannya jauh dariku meski hanya 1 meter saja. Karena hanya dengan selembar kertas diantara ratusan kertas buku kenangan ini, aku masih terus berharap dan bertahan. Atsu kun pasti akan datang, aku percaya.
….
“Aku pulang.” Aku membuka pintu dan masuk. Tapi tetap tak terdengar suara okasan. Biasanya okasan selalu menyambut saat aku pulang sekolah.
“Okasan.. Okasan..” Aku berteriak lagi.
“Ina. Kenapa berteriak ?” Okasan tiba-tiba saja muncul dari ruang tamu mengagetkanku. Aku langsung saja berbalik menghadap ke arah Okasan.
“Okasan kemana saja?. Sedang apa di ruang tamu?.”
“Oh ya. Hampir saja lupa. Okasan ingin memperkenalkanmu pada seseorang. Ayo.” Okasan menarik tanganku sehingga tubuhku pun terpaksa harus tertarik juga mengikuti arah langkah Okasan. “Siapa sih okasan. Kenapa harus terburu buru?.” Ocehku.
“Sudah. Ikut saja.” Jawab okasan singkat. Aku semakin penasaran. Okasan bersikap aneh karena tidak biasa dia bersikap seperti ini.
Sesampaiku di ruang tamu, aku melihat sosok lelaki seumuranku. Tubuhnya tinggi, cukup tampan dan menarik setiap wanita yang melihatnya. Ya, tapi kecuali aku. Karena aku tidak mudah tertarik pada lelaki yang baru saja ku kenal. “Okasan, dia siapa?.” Bisikku. Aku masih menatapnya. Dia yang menyadari kehadiranku di ruangan itu juga segera menatapku lurus dan fokus. Dia tersenyum padaku.
“Perkenalkan dirimu.” Okasan menyenggol sikutku yang menandakan sebuah isyarat untuk mengikuti perintahnya.
“Perkenalkan. Kelas 3 sekolah Ryosei Tokyo. Yamada Ina.” Aku membungkukkan badanku dan memperkenalkan diriku dengan sopan dihadapannya.
“Perkenalkan, aku Kaida Jin. Kelas 3 sekolah Ichisei Tokyo.” Katanya dengan senyumannya yang dari tadi tidak hilang dari wajahnya yang menatapku.
“Ayo duduk.” Kata Okasan singkat. Aku segera duduk di samping okasan. Begitu juga dengan Kaida, dia duduk di sofa yang arahnya berhadapan denganku dan okasan. Sampai saat ini, aku masih tidak mengerti sebenarnya Kaida ini siapa dan ada perlu apa okasan memperkenalkannya padaku.
“Jadi begini Ina. Kau keluar saja dulu dengan Jin, supaya kalian bisa lebih dekat dan akrab.” Okasan memegang tanganku dan tersenyum padaku.
“Maksud okasan apa?. Aku tidak mengerti.” Kataku singkat. “Dan kau. Kau ini siapa dan mau apa?.” Aku melanjutkan kalimatku, hanya ke arah Kaida.
“Jin, adalah orang yang sudah okasan jodohkan denganmu. Kebetulan Jin adalah anak dari teman okasan yang sama sama asli Indonesia.”
“Jadi ini perjodohan?. Tidak mau.” Aku berdiri dan segera memerintahkan kakiku untuk melangkah pergi. Tapi ada yang menghentikanku, Kaida Jin menahanku dengan menggenggam erat tanganku.
“Ada apa?. Aku tak menyukaimu. Jangan memaksaku.” Aku berbicara padanya tanpa menoleh untuk melihat wajahnya.
“Mau menemaniku jalan jalan sebentar?. Ku mohon.”
“Tidak. Tidak ada gunanya. Aku tetap tak menyukaimu.” Aku menolaknya dengan sedikit nada bentakan di kalimatku. Memangnya siapa yang mau. Perasaanku tak bisa dipaksakan. Hingga kini, setelah hampir 3 tahun aku masih menunggu atsu kun, dan kini harus ku akhiri?. Yang benar saja. Ini konyol.
“Kumohon.” Katanya lagi.
“Sudahlah, kau temani saja sebentar Ina.” Kata okasan dan segera melangkah pergi meninggalkan aku berdua saja dengan Kaida. Okasan bodoh, masih saja melakukan perjodohan di jaman yang sudah maju ini.
“Baiklah. Hanya sebentar. Kau janji?.” Kataku melepaskan tanganku.
“aku janji.” Singkatnya.
…
“Kenapa kau ingin naik kereta berputar putar seperti ini?.” Aku heran ketika Kaida mengajakku ke stasiun Tokyo dan naik kereta berkali kali.
“Aku hanya ingin berjalan jalan keliling Tokyo dengan menggunakan kereta.”
“Aneh aneh saja. Hal yang membosankan.” Singkatku. “Sudah berhenti , ayo keluar.” Lanjutku lagi ketika kereta sudah kembali berhenti distasiun Tokyo. Aku mengikuti langkah Kaida karena kereta begitu sesak. Wajar saja, ini kan jam pulang. Sungguh hal yang tidak menyenangkan. Akan menyenangkan jika Atsu kun yang bersamaku. Aku kembali mengingatnya. Ku pandangi lagi album kenangan yang ku genggam dari tadi. Rasa sedih dan sesal kembali kurasakan lagi. Lagi, lagi dan lagi.
“MINGGIR.” Tiba tiba ada yang menyenggolku. Buku kenangan yang ku genggam tanpa sengaja terlepas dari genggaman tanganku. Aku terkejut dan ketakutan. Aku berhenti mengikuti Kaida dan mencoba mencari buku yang berisi selembar kertas harapanku. Tapi tak kutemukan karena kereta yang begitu sesak oleh penumpang yang masuk dan keluar kereta. “Tidak. Tidak boleh hilang. Harus kutemukan.” Desahku di sela sela tangisku. Aku tak akan rela buku itu hilang. Karena buku itu aku bertahan selama ini. apa jadinya harapan yang sudah tumbuh jika buku itu hilang. Aku mendorong orang orang dengan penuh emosi. Aku tak peduli karena saat ini buku itu penting bagiku. Tapi itu tak berlangsung lama, Kaida menarik tanganku cepat sehingga aku ada dipelukannya saat itu juga. “Atsu kun, kumohon kembalilah.” Aku tak dapat menahan tangisku.
“Kau tak apa?.” Tanya Kaida. Aku benci pertanyaannya. Aku benci mendengar suaranya.
“Lepaskan. Ini semua karna kau, karna kau mengajakku kesini buku berhargaku jadi hilang. Pergi, aku membencimu.” Bentakku pada Kaida. Terlihat Kaida begitu terkejut ketika aku meluapkan amarahku saat aku menangis. Terlihat juga bahwa dia mengerti perasaanku dari sikapku, bahwa buku itu sangat berharga bagiku.
“Baiklah. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi maafkan aku. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Tidak perlu. Aku akan mencari buku itu. Bilang pada okasan, aku tak akan menerima perjodohan ini !.” Bentakku.
“Aku mengerti. Kau bisa menguhubungiku jika ada masalah.” Dia pergi meninggalkanku di stasiun. Terbukti dia lelaki bodoh, karena meninggalkan wanita sendirian.
Aku tak memusingkan kepergian Kaida tadi. Aku tidak membutuhkannya. Karena yang kubutuhkan hanya buku kenangan itu kembali lagi padaku. Di dalamnya ada satu lembar kertas yang menumbuhkan harapan saat aku membacanya dulu, saat hari kelulusan 2 tahun lalu. Andai aku mengungkapkan perasaanku, andai dia juga tak langsung pergi. Andai aku sempat menjawab pesannya.
Airmataku tak henti hentinya mengalir. Semakin lama semakin deras, karena seperti aku kehilangan harapanku. Hanya di selembar kertas itu ku taruh harapanku. Hanya karna selembar kertas itu kuperjuangkan harapanku. “Mengapa begini.?” Desahku. Sejenak terlintas di benakku pikiran negatife. “Tidak, ini bukan pertanda aku harus menyerah dan melupakan Atsu kun. Tidak.” Aku meluapkan emosi pada diriku sendiri. Hal yang amat ku benci.
“Ina?. Kau kenapa?.” Aku mengangkat kepalaku yang tertunduk dari tadi. Terlihat Mari sedang berdiri dan menatapku. “Kau menangis?.” Tanyanya lagi. Mendengarnya, aku segera menghapus airmataku. Aku tak tahu harus menjelaskan apa pada Mari.
“Berceritalah.” Mari duduk disampingku. Mendengar kalimatnya aku semakin tak mampu menahannya lagi.
“Aku menyukai atsu kun.”
“Apa?. Mengapa kau tidak bilang?.”
“Memangnya aku bisa?. Dia selalu terlihat jauh, bahkan dari pandanganku.” Hatiku menciut lagi bersatu dengan kepasrahan dan rasa pesimis. Mari masih diam, tan menanggapi apapun. Dia masih menatapku seperti meminta penjelasan lebih dari yang kuucapkan sebelumnya. Aku tetap terdiam. tanpa kata, tanpa bicara, tanpa makna yang memang tak berarti apa apa. Aku mencintainya, “Aku masih mencintai Atsu kun. Buku itu, satu satunya harapanku.”
-bersambung-
Oleh : Gesthi Heraida
Ket :
Gomenasai : Maafkan aku
Sensei : Guru
Okasan : Ibu